Catatan PPD 213 : Terbayang Pada Paras Anak Bermuka Melas


Rasanya kalau jam 11 malam keatas mata belum tidur hampir dipastikan ini akan berlanjut, biasanya saya agak paksakan jam 2-3 sudah untuk harus tidur. Maslahnya, siang harinya di kantor mata akan menuntut untuk dipejamkan.

Mau tidak mau, jam menunjukan pukul 11:53  netbook setia ini mulai ON, karena kalau dipaksa ditidurkan pun ujung-ujungnya tetap saja sulit. Intinya,  netbook ini haruslah menjadi “pelampiasan” dulu untuk mencatat apa yang mau tulis agar mata pun mau tidur.  Apalagi beberapa malam ini, sebuah bayangan seserang nampak selalu ada di fikiran saya, begitu cepatnya “dia” hadir, entahlah tapi saya ak akan lagi bicarakan “dia” yang sedang sibuk juga mengkomposisikan kata demi kata.

Oh ya, malam tadi, masih sore jam 8an lebih, saya pulang lebih cepat dari biasanya. PPD cukup lengang, hingga di Slipi Palmerah. Beberapa penumpang pun naik, dan cukup terisi. Termasuk seorang ibu dan anak. Ibunya membawa tape dan anak kecil  itu memegang. Sebelum lagu terakhir, saya melihat pada sianak yang menggunakan jilbab dengan baju nya yang sedikit agak kucel dan basah karena saat itu turun hujan. Anak itu umur di sekitar anak usia sekolah SD kelas satu. 
Gambar Ilustrasi  : Sumber
Dari banyak pengamen ataupun yang ikut mengamen anak-anak kecil di bawah itu dengan kondisi lebih kucel, baru anak kecil ini yang membuat saya miris melihatnya. Jujur mata saya berkaca-kaca (untungnya sih malam, jadi agak gelap) saat ibunya selesai menyanyi dan anak itu mengitari kantong plastik bekas permen dan saat tepat di hadapn saya itulah,  paras wajah anak ini yang dari tadi saya lihat begitu melas memang begitu kasihan melihatnya, entah kenapa. Saat dia berjalan pelan-pelan karena tak ada pegangan. Jadi ia menjulurkan plastik ke penumpang memakai tagan kirinya, sedangkan tangan kanannya sedikit mengepal dan ia angkat namun bergetar denga pergelangan bajunya yag terlihat basah. Benar-benar hati saya haru….

Entah dimana anak itu turun, hujan belum reda hingga tiba di Salemba. Dari turun bis kota, jarak beberapa ratus meter masih harus saya lalui dengan jalan kaki. Sambil jalan saya masih kebayang anak kecil itu. Oh… 
Semoga dia tak sampai kehujanan dan saat tengah malam ini, ketika saya sekarang sedang menuliskan tentangnya,  anak perempuan itu sedang terlelap tidur, istirahat setelah lelahnya merasakan kerasnya ibukota.

Semangat Revolusi Galau