Dan itu bagi gue satu kata, rugi. Bukankah waktu adalah uang, waktu adalah ilmu, waktu adalah kesempatan, dll. Terus kenapa lu masih membuang waktu lo buat merenung dan memikirkan masa-masa lalu, dengan apa yang di sebut “kenangan indah”. Halooo, terus masa depan lo mau kemanain guys, masa depan yang menunggu lo untuk lo isi dengan sesuatu.
Gw dulu mengalami masa itu. Hancur dan terpuruk karena gw terjebak dalam perasaan, mesti logika masih berfikir untuk menuntut hidup ini secara logis, tapi saat itu yang ada logika “terinjak-injak” oleh nafsu perasaan yang tak ada habis-habisnya.
“Lucu” sih kalau ingat saat galau seperti itu. Bagaimana enggak, ketika orang lain sedang melakukan dan berfikir untuk hidup lebih baik, gue malah terhanyut dalam nyanyian perasaan. Ketika mereka sudah action sesuatu gw baru sadar kalau kemarin-kemarin gw terus tidur dengan kegalauan gue.
Menyalahkan cinta, itu menurut gw itu enggak tepat. Kenapa harus juga menyalahkan cinta, perasaan yang menurut gw itu manusiawi. Lalu ketika gagal dalam percintaan, lantas itu dijadikan alasan hidup ini hancur atau layak “dihancurkan”, ouuuhhh itu namanya sudah jatuh tertimpa tangga, tergilas truk, tertindih pohon tumbang dan tertimbun urukan pasir, (lengkap tuh).
Gw ngerti dengan kegalauan yang membuat elu terus membuntuti dan seakan elu terus mengikuti perasaan, mesti samping kanan, kiri elu dah ngasih saran tapi elu tetep pada perasaan yang membuat elu semakin galau. Hal itu kebanyakan yang di adopsi, karena melepaskannya cukup sulit mungkin? Tapi satu hal, elu mesti komitmen sama diri lu. Bahwa lu mesti ninggalin kegalauan. Buatlah spirit baru untuk melangkah pada satu target. Inget ketika galau, elu punya power, dan itu kesempatan banget buat jadiin kekuatan itu untuk mencapai pada sebuah pencapaiaan. Ya, spirit revolusi galau, mengubah galau itu menjadi sebuah kekuatan untuk keluar dari keterpurukan menuju hidup yang lebih mantap, lebih baik.
Semangat !! Revolusioner Galau.