Catatan 213 : panggung bis kota



Yap… bagi saya yang  tak memiliki kendaraan pribadi, angkutan umum layaknya bis kota ataupun busway jadi sarana transportasi yang “bertugas” mengantarkan saya pulang dan pergi kerja atau kuliah. Mungkin serial catatan 213 perdana ini adalah serial yang akan membuka cerita atau derita ,,hehe tentang bagaimana saya akan berceloteh seputar apa yang saya tangkap di atas biskota PPD 213.

Bis kota ini yang paling penuh dan sesak ini memang kalau bisa dikatakan paling populer lah . Rute Grogol-KP Melayau ini luar biasa membuat dilemma..jiaghhh, enggak naik gimana? Naik juga gimana? Its oke, gimana caranya supaya saya  damai naik bis ini, saya kasih tahu dan anda pun pastinya sudah tahu…

Ya, naiklah di jam-jam yang bukan jam berangkat atau balik kerja, kitu doang sih,hee
Saya selalu berusaha berangkat satu jam  sebelum jam sibuk, jam 7 pagi saya harus sudah nongkrong di halte Cikini, mobil sudah lumayan penuh tapi masih bisa masuk tidak seperti kalau jam  8an terkadang hanya ada jatah 1 pijakan kaki dan tangan bergelantung di pintu (seperti dalam catatan sebelumnya) karena malas untuk menungu lagi dan biasanya sama saja penuhnya. Dan, dengan berangkat lebih pagi saya  naik bis bisa lebih manusiawi, hehe tiba dikantor baru ada OB, biasanya  saya gunakan buat sarapan baca koran atau menulis catatan terlbh dahulu.

Nah, rekan pembaca yang sudah mulai suntuk membaca catatan ini. Begini, hmm…Saya lebih suka pulang lebih malam dari seharusnya yakni jam 06 sore. Biasanya jam 9an malam saya baru keluar kantor dan menunggu bis 213 ini.

Dari pengamen kelas teri hingga kelas Café
Inilah kenikmatan pulang jam 09 malam. Suasana kota Jakarta yang sudah tidak macet, dengan gemerlap lampu gedung-gedung membuat lrlah setelah bekerja menjadi sedikit sirna.  Bangku  bis kota yang kebanyakan kosong dan pastinya jauh berbeda dengan 2-3 jam yang lalu yang penuh sesak, dan biasanya selaluy ada hiburan. Tak  lain adalah penampilan pengamen ibu kota.

Eits, jangan salah, memang selain ada penampilan pengamen kelas teri, sory maksud saya anak-anak kecil yang bahkan dibawah umur 10 tahun, beberapa ada pengamen kelas penyanyi café. Saya beberapa kali menemukan pengamen yang satu ini, perempuan dennga stylenya sedrhana tapi fungky, teknik vocal dan permainan gitarnya yang benar-benar enggak asa-asalan, setiap kali saya  melihat performance dia, dalam benak selalu  bertanya kenapa orang yang memiliki talenta besar seperti dia enggak jadi penyanyi yang populer? Atau lebih memilih menghibur masyarakat kelas biskota? Kebanyakan idealis juga mungklin..Hmm.

Ok, sulit saya menggambarkan sosok pengamen itu, yang jelas saya suka dengan pembawaanya sederhana dari fashion dan punya  musikalis yan tinggi, menghibur sekali. Dan tak kalah menghiburnya adalah beberapa pengamen yang membawakan alat musik biola dan meberikan lagu-lagu instrumental yang sering saya dengar dari MP3. Mantabs,, bagi saya yang senang instrumental sanagt-sangat terhibur. Memberi gopek, seribu atau sebatang rokok itu terlalu kecil rasanya.  Mahal sekali hiburan itu, gesekan biola yang membuat saya berasa bukan berada dalam sebuah bis kota, tapi dalam petunjukan orchestra, hehehe.

Ini adalah adil, sebuah keadilan yang diberikan sang Maha Adil, dimana setiap kalangan memiliki kesempatan untuk mendapat hiburan dengan bentuk dan cara, tinggal kembali pada diri kita menikmati atau tidak. Sekali lagi saya mengulang, untuk bahagia, senang, terhibur kembali pada diri kita lagi, apakah kita memilih untuk itu.

Salam Bahagia
Semangat Revolusi Galau