Judulnya diatas adalah kutipan dari seseorang. Nah siapakah
dia?
Saya mulai dari cerita ketika hari minggu kemarin saya bertemu teman saya di kawasan Palmerah, Jakarta
Barat. Selain saya ada urusan dengannya, semenjak libur kuliah kami tak bertemu
selama lebih dari 3 bulan.
Pertemuan kami di siang hari itu ditemani dengan butir
kelapa ijo. Hmmm, selain menyegarkan harganya
relatif murah, hanya 3000 untujk 1 butir kelapa (wah jadi info kuliner).
Pulang menuju kostan, kebetulan angkutan umum PPD 213 1
trayek yang untuk bisa mengantarku pulang ke kostan. Nah, bagi yang telah
membaca serial catatan 213 yang lalu dengan kondisi yang sesak, hari minggu ini
213 tak begitu, namun pengamen masih tetap mengalir tanpa libur.
karena bicara soal hari libur, perut tak pernah bisa mau diliburkan (bukan begitu?)
Pengamen di siang itu tak seperti yang saya tuliskan di
catatan sebelumnya, namun cukup enak didengar. Ramai pedagang yang bisa leluasa mengobral jualannya.
Hingga ketika di kawasan Tosari atau di kawasan dekat dengan bundaran HI
seseorang bertopi dengan dilehernya tergantun sebuah pluit, namun dia bukanlah
penumpang. Berdiri di depan dan menyapa penumpang seolah pengamen tanpa alat
musik. tapi dia bukan pengamen karena definisi saya pengamen mestilah dengan
alat musiknya (semoga pembaca tidak setuju,hehe).
Orang ini menyapa lalu dia berceloteh ngawur dan tak lama
“mempersembahkan” pantun. Pantunya, maaf saya harus katakan, sangat tidak
nyambung. Okee , saya hargai itu mungkin karena hanya itu yang ia bisa. Tapi kelanjutannya, entah pantun atau apa,
muatan yang di bicarakannya sangat tidak lucu, mendekati seks. Lebih dari itu, ia
berbagi cerita tentang dirinya dengan yang sedikit menyinggung soal SARA yang dapat
mengganggu umat agama lainnya.
Tak lama, ia pun kembali kemenghibur dengan nada sumbang
yang buruk (maaf). Memasuki kawasan Menteng, mulailah dia berhenti “menghibur “
menurut versinya. Tanpa plastik atau media apapaun, tangannya langsung meminta dari tiap kursi ke kursi.
Tak banyak yang memberi, namun ada beberapa orang yang memberi, namun ketika ia menerima
pemberian, Ia sempat berucap sesuatu.
Nah pembaca sekalian yang penasaran, tentang kutipan
siapakah diatas. Itulah kutipan si orang
bertopi ini. Saya mendapatkan sesuatu dari orang ini, bahwa ia merasakaan
seseorang yang memberi namun mengguratkan ketidakikhlasasan. Hmm, ada hal yang
bisa dipetik tentang makna ikhlas. Ketika memberi tanpa sebuah keikhlasan adalah
sebuah kekosongan.
Saya tidak memberi pada orang itu, karena hati saya tidak
terpanggil. Tapi andai saya memberi, saya tak yakin saya akan ikhlas, jujur
saya katakan ya,hehehe.. apa yang
membuat orang ikhlas membri, terhibur sama sekali tidak, iba juga sama sekali
enggak , kalau takut, mungkin, karena dari penampilan dan cerita bahwa
kemarinnya ia barus saja berkelahi dengan 15 orang, dan ia lawan sendiri… entah bohong atau benar yang jelas itu yang
membuat penumpang sedikit menciut didukung dengan wajahnya yang cukup sangar.
Kembali saya bicara pada ucapan yang saya kutip untuk saya
buat judul, bahwa nilai yang saya tangkap dari adalah dia tetap bicara soal
keikhlasan. Bahkan sedikit saya kasih nilai plus keikhlasan yang ia dambakan.
Catatan ringan saya dari cerita ini, tak banyak dari kita,
menerima sesuatu tanpa memperhatikan keihkhlasn orang yang memberi dan
seringkali ketika kita memberi, bukan keikhlasan yang mendasari namun ada
karena hal lain yang mendasari itu.
Khususnya bagi saya dan umumnya bagi pembaca , semoga tiap
kita memberi, keikhlasan menjadi dasar atas apa yang kita beri, agar hidup
menjadi berkah. Ya,, bisa diawali dengan
ikhlas memberi logam pada seniman jalanan.
Selamat berbagi
Semangat Revolusi Galau